Remedial

Tita menghembuskan nafas kuat-kuat begitu Bu Riris mengumumkan siapa saja yang harus mengikuti remedial minggu depan. Tita termasuk salah satunya. Tak apa. Toh banyak temannya yang harus mengikuti remedial pada pelajaran yang sama. Begitu dia menghibur diri. Nama Eros juga muncul sebagai salah satu siswa yang harus mengikuti remedial.

Untuk kebersamaannya dengan Eros rasanya dia tidak keberatan belajar ulang sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia. Seperti biasa Eros pasti akan mengandalkan dirinya untuk menjawab soal-soal yang diberikan Bu Riris.

"Hei, remedial juga, ya?" Cecil menepuk pundak Tita, ketika Bu Riris sudah meninggalkan kelas mereka.

Tita memiringkan kepala. Sedikit malu. Sejarah kerajaan di Indonesia tidak sulit-sulit amat sebenarnya. Asal mau rajin dan lebih cermat membaca, nilai delapan pasti bisa didapat. Toh Raya, si kutu buku itu bahkan bisa mendapatkan nilai 9.8!

"He-eh," Tita mengangguk.

"Biar enggak terlalu smart, biasanya kamu selamat dari remedial. Kok sekarang turun derajatnya?" Cecil mulai menggoda. "Pengin menyamakan diri dengan si..."

Cecil batal melanjutnya kalimatnya. Cubitan Tita memaksa sebuah jeritan muncul dari bibir tipisnya. "Aaa! Keterlaluan kamu! Sampai membekas, nih," Cecil memperlihatkan lengannya yang baru saja dicubit Tita. Bekas kuku Tita tampak di situ.

Tita tersenyum. Sedikit menyesal. "Sori."

**

Belum lagi jam delapan malam. Tetapi Tita sudah meletakkan bukunya. Konsentrasinya menguap begitu nama itu singgah di pikirannya. Eros. Sejak kapan tepatnya bayangan teman sekelasnya itu mengganggu pikirannya, ia tak ingat. Yang Tita ingat setiap Eros menepuk pundaknya sambil berkata, "Ajarin nanti, ya", menjelang evaluasi pelajaran, Tita merasa senang, hangat.

Tita tidak tahu persis apa yang dirasakannya. Mungkin ia jadi merasa berarti setiap kali Eros mengandalkan dirinya membantu mengerjakan evaluasi. Seperti kata Cecil, Tita tidak tergolong anak pintar di kelasnya. Ya, sedanglah. Pintar tidak, tertinggal juga tidak. Karena kemampuannya yang sedang-sedang saja, Tita jarang diperhitungkan oleh teman-temannya.

Eros memberi warna lain dalam keseharian Tita. Permintaan Eros untuk membantunya mengerjakan evaluasi, membuat Tita merasa dibutuhkan, dihargai. Jadi merasa lebih pintar dari yang sebenarnya! Hm, Tita tersenyum sendiri. Teringat kata Cecil lagi. Ya, pantas saja Tita merasa begitu karena selama ini prestasi akademik Eros di bawahnya.

Entahlah. Rasanya banyak hal kini menjadi tidak sama dengan yang senyatanya. Tita jadi merasa pandai, berarti, dibutuhkan, padahal sebenarnya tetap sama dengan sebelumnya. Itu hanya perasaan Tita gara-gara Eros belakangan ini mendekatinya. Ups! Mendekati? Belum. Belum bisa dibilang begitu. Karena selain urusan bantuan evaluasi, Eros tak pernah berbincang dengannya.

**

Pagi yang tak terlalu cerah. Begitulah cuaca sekarang ini. Hujan tetap turun di musim kemarau. Sementara pada musim penghujan, matahari bisa bersinar begitu teriknya.

Tita melangkah santai menuju kelas. Masih cukup waktu untuk ngobrol dan bercanda dengan teman-temannya sebelum bel masuk berbunyi. Tetapi begitu masuk kelas, dilihatnya pemandangan yang tidak diharapkan. Sebagian temannya sedang serius mengerjakan PR.

"Ha!" Tita merasa mendapat kesempatan membalas Cecil. "Ini, kan PR, pekerjaan rumah, bukan pekerjaan sekolah!"

Ternyata Cecil terlalu serius untuk menanggapi godaannya. Gadis itu hanya menjawab dengan menyodokkan siku ke pinggang Tita. Tita kecewa. Tak ada yang bisa diajaknya ngobrol pagi ini. Hampir semua teman mainnya sedang sibuk dengan PR bangun ruang. Hanya Devi, Ratih, Raya, dan beberapa teman yang terkenal pintar dan rajin saja yang tampak santai karena PR mereka telah beres.Tetapi tidak seru ngobrol dengan mereka. Terlalu serius dan tidak punya bahan bercanda.

Tiba-tiba, "Heh," sebuah tepukan mendarat di pundak Tita. Tepukan yang sedikit berat namun hangat. Eros telah berdiri di samping Tita. "Dari pada bengong, bantuin aku. Nih!" Eros mengulurkan buku dan pena.

"Enak aja," Tita cemberut, tetapi batinnya mengatakan sebaliknya.

"Alah, hitung-hitung ibadah," Eros meletakkan bukunya di meja Tita.

Dengan gerakan seolah enggan, Tita pun meraih buku itu. "Dasar pemalas!" katanya.

"Terima kasih, ya. Sekretaris yang setia," Eros pun berlalu.

Tita menghembuskan nafas sebelum mulai menyalin pekerjaan rumahnya ke buku tugas Eros. Sekretaris yang setia. Kalimat yang baru saja diucapkan Eros begitu indah di telinganya. Adakah Eros punya perhatian lebih padanya?

Tita berharap kehangatan Eros pagi itu akan bertahan. Setidaknya sampai selesai semua pel

View this post on my blog

0 comments:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog