Benny dan Jessie

Halo.

            Namaku Jessie. Pendek sekali, kan? Aku tinggal di sebuah ruangan persegi yang biasa kalian sebut "kamar tidur." Lantai berkarpet, dinding biru pudar, langit-langit rendah, dua jendela persegi bertirai putih yang tak pernah berubah semenjak aku selesai dibuat setahun silam.

            Penciptaku adalah seorang perempuan tua berleher panjang yang senang

menggulung rambutnya menjadi satu tumpukan kecil di belakang kepala. Dan karena rambutnya yang keriting, aku memanggilnya dengan sebutan Nyonya Berambut Keriting. Aku tidak pernah mempunyai kesempatan untuk mengetahui namanya.

            Nyonya Berambut Keriting memiliki seorang gadis kecil. Tasia namanya. Dia manis, berambut legam, dan berlesung pipi. Dia sangat memahamiku meski aku tak pernah buka suara.

"Kabar baik, Jessie," katanya hari itu. "Ibu membuatkanmu teman."

Teman?

"Mau lihat?"

 

Tentu saja.

Tasia tersenyum sesaat, lalu memperlihatkanku sebuah makhluk kecil berbulu cokelat tua di tangan kirinya.

"Aku menamainya Benny."

 

Nama yang bagus. Aku suka.

Gadis kecil itu menghela napas dan meletakkan Benny di samping kananku. Tangan kami dibiarkan saling bersentuhan.

"Mulai detik ini, kalian adalah pasangan," Tasia menegaskan. "Kalian tahu kenapa?"

 

Aku tidak tahu.

Tasia tersenyum penuh arti. "Karena sebenarnya kalian adalah satu. Kalian  dibuat dengan satu kain yang sama. Jadi Jessie adalah Benny, dan sebaliknya."

Aku menatap kedua mata Tasia yang berbinar-binar. Senang, seperti aku. Sayangnya, aku tidak bisa melihat reaksi Benny. Apakah dia juga sesenang aku?

***

            Seandainya seseorang menanyakanku satu kata yang bisa mewakili perasaanku saat ini, aku akan dengan cepat menjawab "bahagia." Senang saja tidak cukup, karena menurutku bahagia itu lebih abadi.

Tahu kenapa?

Karena sekarang aku tidak lagi sendiri. Ada Benny. Dan sekarang dia di sampingku. Selalu. Dan semoga selamanya.

            Benny dan aku tidak pernah bicara. Makhluk sejenis kami memang ditakdirkan hidup dalam kesunyian, dan terperangkap dalam wajah yang sama tiap harinya. Tersenyum, seperti wajah-wajah boneka pada umumnya. Namun, biarpun kami adalah jiwa-jiwa yang hidup dalam benda mati, kami memiliki perasaan, dan perasaan itulah yang menghidupkan kami. Bahkan tanpa bicara pun kami saling memahami. Jadi, biar kami tidak melarutkan waktu dengan kata cinta dan pelukan, kami menikmati kehidupan yang sarat kebisuan ini. Hanya dengan tahu bahwa dia selalu ada di sampingku saja sudah cukup.

***

Suara langkah kaki.

            Ketika Tasia membuka pintu kamar dengan sekali banting dan melangkah masuk sambil menghentak-hentakkan kaki, aku sudah tahu apa yang ia inginkan.

Aku.

Dan dugaanku tepat.

            Tasia mengambilku dan mendekapku erat-erat. Wajahku terbenam dalam kaos oblongnya. Dan tak lama berselang, aku merasakan tetes-tetes air membasahi kepalaku. Air matakah?

"Nggak adil," ucap Tasia sambil terisak pelan. "Kenapa aku nggak seberuntung mereka?"

 

Apa maksudmu?

"Kenapa harus aku?"  Suaranya bergetar.

 

Pertanyaan yang sa...

            Sebuah benturan pelan menyentuh kepalaku, dan tahu-tahu wajahku lurus menghadap langit-langit. Tasia baru saja membantingku. Tidak sakit. Aku sudah biasa diperlakukan seperti ini. Yang tidak biasa adalah ketika aku dipeluknya lagi, dan dia menangis di sana. Bersamaku. Aku sendiri tidak tahu apa yang kutangisi. Selama ini aku yakin aku bahagia.

***

 

Aku mencintainya. Aku mencintainya, dan aku mencintainya...

***

"Kejutan!"

            Hari ini nyaris sama seperti dulu, ketika Tasia mengenalkan Benny padaku. Wajahnya nampak ceria, tapi entah mengapa perasaanku tidak selaras dengannya....

"Seseorang memberiku sesuatu," Tasia memulai. "Boneka teddy, sama seperti kalian."

 

Aku tidak mengerti...

"Seseorang yang aku suka sejak lama," ia melanjutkan, pipinya merona. "Dan aku pikir akan ada sedikit perubahan."

 

Perubahan?

            Sebagai jawaban, Tasia mengambil Benny dan memindahkannya ke sisi seberang, di salah satu baris rak buku.  Dan kemudian, dia meletakkan sebuah makhluk berbulu putih mulus dengan pita merah menyala di satu telinga bundarnya, tepat di samping Benny.

"Namanya Merry," ucap Tasia, hanya ditujukan kepada Benny. "Dia manis sekali, dan aku rasa Benny lebih serasi dengannya."

 

Apa?

***

            Sekarang aku tahu, muara dari segala tanda tanya yang dulu bergulat dalam pikiranku. Sesuatu yang semula samar dan kabur, sesuatu yang awalnya tak terjabarkan, sesuatu yang membuatku bertanya-tanya...apa yang kutangisi saat itu? Dan alasannya ada pada diriku.

Aku menangisi keberuntunganku.

Aku ingin menjadi manusia.

            Manusia yang bisa bicara, seseorang yang tak perlu memakai topeng di setiap sisi wajahnya. Sesuatu yang bernyawa. Sesuatu yang tak perlu tersenyum di saat seperti ini.

Aku mencintainya. Itu saja.

***

Selama ini aku salah.

Tasia tidak pernah memahamiku. Di matanya aku tak lebih dari sebuah boneka teddy yang tuli dan bisu, buta dan mati. Aku hanya Jessie. Aku hanya sebuah nama yang tak memiliki jiwa, benda mati yang hanya mengandalkan perasaan untuk memahami. Aneh... ternyata perasaan bahagia bisa membuat seseorang buta akan hal yang benar.

            Dan sekarang aku hanya ingin tahu. Siapakah nama penciptaku? Dia mana dia saat ini? Apa ia masih hidup? Aku tidak tahu. Dialah satu-satunya manusia yang memahamiku, meskipun kami tak pernah saling berbicara dan bersua lagi. Dia sadar bahwa selama ini aku kesepian, hal yang bahkan tak kusadari, dan mengirimkanku sebuah teman. Sebuah teman yang kini pergi....

Benny.

Benny masih terduduk di sana. Diam, meski kami saling menatap. Kata, perasaan, pikiran... semua sudah berakhir. Tamat. Sekalipun dia diciptakan untuk aku dan kami adalah satu, aku harus mengerti. Cinta tidak harus memiliki, bukan?

(Oleh: Benefitasari Intan Nirwana, foto: kweeper.com)

View this post on my blog

0 comments:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog