Membeli Waktu

Ika

Senyumnya akan selalu terasa seperti rumah. Tubuh tingginya selalu mengesankan pribadi yang bertanggung jawab. Gaya berjalannya selalu membuatku ingin meraih sosok kokohnya.

            Dan aku membuat kalian mau muntah dengan narasi mengerikan barusan, kan?

            Tapi sungguh, sosok itu ada. Sosok yang membuat hidupku di SMA menjadi lebih berwarna. Dia memasuki hidupku dengan sebuah senyum dan sebuah penghapus setahun yang lalu. Terkenang selalu hari itu yang berangin, yang membuat dedaunan di pohon di depan kelas XI IPA 2 bergoyang lembut.

            "Gue pinjem ya, Ka, penghapusnya ! " ucapnya saat itu, di hari ketiga kami sekelas. Senyumnya yang hangat langsung menghantamku dengan intens, membuatku terpana sesaat. Bagaimana bisa seseorang menghangatkan hatiku, lalu mendebarkan jantungku dalam sekejap?

            Aku pasti gila. Karena sekejap, dia merasuki. Menjajah lahan luas hatiku, yang meski telah berulang kali berontak, berulang kali menambur gendang perang, berulang kali menjerit tetap tak mampu mengusirnya.

            Ini jelas jatuh cintakah ?

***

            "Ikaaa!" Rira berlari kecil mengejarku. "Ikut ke kantin! Laper, nih!"

            Cablaknya teman mungilku ini membuatku selalu tersenyum, walau sudah tiga tahun aku bergaul dengannya sejak kelas sepuluh. Tingkahnya yang seperti anak-anak, kadang bisa membuat orang kesal padanya tanpa sebab. Hanya saja, aku tahu itu karena keinginannya membagi kesederhanaan caranya melihat hidup. Bahwa tidak ada masalah sebesar apa pun yang dapat menyuramkan hati dan harinya.

            "Lila mana, Ra? Bukannya bareng elo, ya?" tanyaku saat Rira berhasil menyamai langkahku, "Memang dia nggak mau makan? Diet lagi?"

            Rira angkat bahu, "Lo kayak enggak tau aja, Ka. Dia ke tempat biasa. "

            Aku menganggukkan kepala langsung mengerti. Berarti Lila pergi ke tempat gebetannya. Itu sudah ritualnya setiap istirahat selama 2 bulan terakhir ini. Sembari berjalan, aku memperhatikan wara-wiri  anak-anak yang sedang istirahat dari lelahnya menjejali kepala mereka dari segala pengetahuan.

Ini semester terakhir dan semester paling mengerikan bagi anak kelas XII SMA sepertiku. Setiap hari tugasku hanyalah latihan soal dan mengulang materi semua materi yang kuperoleh selama tiga tahun. Makin hari, Ujian Akhir Nasional serasa makin horor.

Mendadak, semuanya terlihat begitu aneh dan acak. Tidak ada yang sama lagi. Semuanya bergerak maju dalam urutan yang tidak dapat kuikuti lagi. Melanjutkan kuliah ke mana? Bagaimana caranya berpisah dengan Adel dan Lila yang sudah menemaniku dari kelas sepuluh? Seperti apa hidupku nanti? Aduh, Atika Lestari, apa sih yang ada di pikiranmu sampai ragu dan takut begini? 

Lalu dirinya hinggap di sudut mataku. Ah, kamu yang selalu menghangatkan hari-hariku.

"Ka! Ngapain elo bengong?" Pundakku ditepuk oleh Lila. Sudah kembali dia rupanya dari apel siangnya.

"Nyari cowok cakep buat diajak ke prom," jawabku asal, masih mencoba mencari ke mana perginya si matahariku. Dia sudah menghilang, membiarkan aku sesaat saja menikmati kehangatannya. Semua salah Rira.

Mendengar jawaban asalku itu, Lila dan Rira heboh. Tidak biasanya aku memperhatikan lawan jenis, begitu bawel mereka di sebelahku. Andai saja mereka tahu. Andai mereka tahu.

***

 

Andre

            Caranya menelengkan kepala selalu membuatku takjub. Tatapannya selalu membuatku bertanya, apa yang dilihatnya sehingga kedua manik mata itu berkabut. Senyumnya selalu melegakan hatiku, senyum itu selalu menghembuskan angin sejuk.

            Dia mengacau hatiku dengan sebuah lagu. Setahun yang lalu, di rekreasi tahunan sekolah kami untuk anak kelas XI. Sebuah lagu mengalun dari radio bus yang kami tumpangi. Aku bertanya ke sekitarku, siapa penyanyi lagu itu, apa judulnya. Semua menggeleng tak tahu.

            Lalu suara lirihnya menjawab, "Season's of Love. Lagu lama sih, dari Broadway. " Kutolehkan kepalaku, lalu mataku dimanjakan dengan pemandangan dirinya. Kepala ditelengkan sedikit, bermandikan cahaya matahari senja. Sejak saat itu, aku selalu tercengang saat melihatnya melintas. Aku mencari alasan sederhana untuk berada di dekatnya. Bahkan saat kelas kami akhirnya terpisah di kelas XII, aku tetap mencarinya.

            Aku terdengar seperti cowok yang tidak punya nyali, kan? Tapi jawab dulu pertanyaanku. Bagaimana aku bisa merebut perhatiannya di saat tatapannya tak pernah tertuju padaku  ?

***

            Ini semester terakhir bagi anak kelas XII. Semester di mana kepala kami hanya dijejali soal, pengetahuan, pengulangan materi, kelas tambahan dan satu target. Kami harus lulus UAN.

            Kelas tambahan sore hari ini tidak terasa begitu berat untukku. Karena hari ini, selain belajar, aku dapat melihatnya sepuas hatiku. Dia selalu akan mampir ke kelasku, atas permintaan guru bahasa Inggris, untuk membantu memberikan tutor untuk mata pelajaran tersebut.

Sekolah kami menerapkan sistem student reaching student. Jadi siswa yang dinilai lebih handal dalam satu pelajaran, akan dijadikan tutor untuk yang lainnya. Entah kenapa, dibanding Bu Melia, penjelasannya jauh lebih mudah dimengerti. Atau itu hanya diriku yang beranggapan demikian?

            Saat masuk, kulihat dia menenteng buku soal untuk latihan hari ini. Tubuhnya membungkuk, mendengarkan baik-baik apa yang dikatakan Bu Melia untuk materi hari ini. Rambut-rambut halus yang tidak terikat membingkai halus wajahnya dan sinar matahari yang mulai membayang sore ini membuat dia semakin indah dipandang.

            Dia mulai bergerak, mencari kelompok yang harus dibantunya sore ini. Datang ke sini, bergerak tiga langkah lagi ke arahku. Ayolah....

            Kakiku ditendang Riadi, teman sebangkuku. "Lo liat siapa yang dateng!"

            Dan tiba-tiba...dia bergabung dengan kelompokku! Beberapa orang yang menjadi anggota kelompokku pun ikut merapat dan bergabung.

            "Dre, gue gabung sini, ya!" ucap Lila. Tanpa basa-basi, Lila membalik kursi di dekatku sehingga meja individual ini menjadi terbagi dua untukku dan dia.

            Riuh rendah sorak-sorai teman sekelasku membahana. Sore ini, aku akan memandang wajahnya dengan puas. Aku akan merekam setiap momen baik-baik.

***

Ika

            Membayangkan diriku berduaan saja dengannya sudah membuat jantungku berolahraga keras. Iramanya loncat sana loncat sini. Siang ini aku akan bekerja berdua dengannya, menyelesaikan daftar undangan untuk upacara perpisahan angkatan kami. Aku menunggunya di ruang kesiswaan.

            Tegang, tanpa sengaja kebiasaan burukku keluar. Kuketuk-ketuk meja dengan pulpen. Kenapa dia lama sekali? Bagaimana nanti aku harus memulai pembicaraan? Aku ingin lebih dekat dengannya, tapi aku takut. Takut akan konsekuensinya.

            "Hai, Ka!"

            Aku tersentak, "Hai, Dre. Bawa, kan, daftar namanya?"

            Andre mengangguk sambil menunjukkan daftar nama yang harus kami ketik. Kemudian aku diam, karena tak tahu harus bagaimana. Serba salah. Awkward. Bagaimana ya baiknya? Aku pun mulai mengetik. Dia duduk di sebelahku. Aku bisa mencium bau shamponya dari jarak sedekat ini. Ya ampun, rasanya jantungku ingin lompat keluar saja. Lalu keheningan pecah karena dia.

            "Lo tau, enggak, Ka, Lila tadi siang udah nembak gue?" ucap Andre tanpa basa-basi.

            Aku terkesiap. Lila tidak mengatakan apa-apa soal itu kepadaku. "Terus...? Elo jawab apa?" tanyaku balik, ingin tahu. Hatiku berteriak-teriak, "Jangan jawab iya! Jangan mau jadi pacar Lila!" Tapi hati nuraniku berkata sebaliknya. Lila sahabatku, maka kalau dia bisa mendapatkan cowok yang disukainya, maka itu akan membuat hidupnya bahagia, kan? Aku, sahabatnya, harus mendukungnya.

            "Gue jawab gue enggak bisa. Soalnya gue udah suka ama orang lain," jawab Andre. Kali ini sambil menatapku serius. Dalam-dalam. Ada yang aneh dari mata itu. Ini pertama kalinya aku memerhatikan wajahnya sedekat ini. Ekspresi wajahnya....apa aku salah membaca ekspresinya? Mendadak ada sebuah tendangan di hatiku. Jangan - jangan....

***

 

Andre

            Wajah bingung Ika itu bercampur ekspresi yang tidak dapat kumengerti. Lalu kenapa ada sedikit warna pink yang perlahan menjalar ke seluruh wajahnya?

            Jangan membuatku berharap!

            Bertahun-tahun aku memerhatikan dia. Ika selalu serombongan dengan Lila, yang membuat semua orang heboh dengan keagresifannya mendekatiku. Tampaknya dia berpikir kalau tatapan diam-diam yang kucuri itu ditujukan untuknya. Sehingga akhirnya semua orang salah paham, termasuk Ika. Namun sore ini puncaknya. Saat Lila terang-terangan, aku menyelesaikannya. Kukatakan sejujurnya, bahwa aku menyesal telah memberi sinyal yang salah pada Lila. Bahwa aku sudah mencoba menjelaskan dari awal dengan menghindarinya. Bahwa aku menyukai sahabatnya, Ika. Lalu aku berharap dirinya tak marah karena ini. Berharap pula dia bisa membantuku. Tapi Lila hanya melangkah pergi, lunglai dengan raut sakit hati. Dirinya tetap memilih menjadi hambatan bagiku.

             Gue perlu jujur ama elo, Ka," ucapku. Aku mengumpulkan semua keberanian. "Gue selalu perhatiin elo. Itu makanya Lila salah sangka. Gue tadi juga jujur sama Lila soal perasaan gue ke elo. Gue enggak tahu entar dia bakal gimana ama elo. Cuma gue berharap elo enggak menjauhi gue karena ini. Elo selalu beda di mata gue. Kalau gue jelaskan dengan kata-kata, elo akan bilang gue gombal. Gue enggak berharap apa-apa. Ini gue yang mencoba jujur apa adanya."

            Aku kehabisan napas mengucapkan semua kata-kata barusan dengan cepat. Mataku tak lepas dari wajah Ika. Matanya terbelalak, namun rona itu makin jelas. Dia memalingkan wajahnya sedikit, yang membuatku makin gila lagi, karena dia terlihat sangat cantik. Kemudian bibir itu perlahan berkembang dan Ika tersenyum! Tersenyum malu tapi geli lalu mulai tertawa kecil geli!

            Saudara-saudara, dia tersenyum!

            "Lo tau, enggak, Dre, barusan elo juga cute banget," ucap Ika di sela tawanya.

            Tanda baikkah ini? Senyum dan jawabannya?

***

 

Ika

            Andre melambaikan tangannya dari ujung lorong padaku. Aku membalasnya dengan senyum. Besok UAN dimulai. Hari ini tepat satu bulan setelah hari bermakna itu.

            Oh, kami belum pacaran atau apa pun istilah status yang ditandakan ke dua orang yang jalan bersama. Kami berdua, dalam tawa kami, seakan sepakat menunda peresmian atau apa pun itu. Membeli waktu agar aku dapat mengurai kusutnya benang persahabatanku dengan Lila. Membeli waktu kebersamaan juga untuk mencoba mengenal satu sama lain dengan lebih baik, walau tidak terang-terangan. Membeli waktu juga untuk kami belajar dengan baik untuk UAN. Lagipula kami akan masuk ke dalam universitas yang sama, hanya berbeda jurusan. Kami punya segala waktu nanti.

(oleh: nagisa paramita, foto: imgfave.com)

View this post on my blog

0 comments:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog