PRASANGKA

Sreeet....

Suara lift terbuka perlahan. Gadis itu menyingkir ke kiri, memberi jalan kepada beberapa orang yang baru keluar dari dalam.

"Ihh...Mama yang sabar dong, Ai udah di depan lift kok. Marah aja, sih," gerutu gadis itu. Blackberry menempel di telinganya.

"Aisha?"  seseorang menyapa.

Kepalanya menoleh, pintu perlahan menutup.

"Blues?"

Sreeet....

**

"Kok kamu bisa teledor begitu sih, Sayang. Sejak tadi malam, Mama sudah wanta-wanti kamu agar segera pulang, toh."

"Mama, hari ini Kamis. Ai sudah bilang, kan, kalau mesti latihan Paskibra dulu? Masa petugas pembawa bendera enggak ikut latihan, apa kata dunia coba?"

"Ahh...latihan upacara sudah kelar dari jam 3. Tadi Mama tanya Bu Fifi." Nama wali kelasnya membuat Aisha memanyunkan bibir lembab karena lipgloss yang dipakainya.

"Mama, hari ini Kamis. Ai ada balet jam 4. Mama lupa, ya, kalau 2 minggu lagi, Ai pentas di Ismail Marzuki. Kan, tiket nonton juga sudah ada sama Mama."

"Ahh...."

"Trus, sehabis balet, Ai langsung pulang, kok, tanya aja Pak Ipol."

"Ah, Namarina ke mari, kan, enggak nyampe sepuluh menit."

"He he, tadi pulangnya lewat Halimun, muter dulu. Ai mau lihat jajanan di depan sekolah Penabur."

"Tuh, kan. Kamu sengaja melakukan ini. Datang terlambat, biar enggak ketemu dengan Tante Sera dan Errista."

"Lagian Mama norak, ah. Serasa masuk ke dalam buku Sejarah, deh. Hari gini, lho, masih aja mikir jodoh-jodohan."

"Ahh, kamu ngasal aja ngomongnya. Masa anak SMP mama yang cantik dan modis begini dijodohin. Memang kamu kira Mama ini berasal dari jaman penjajahan? Tante Sera itu mau minta tolong kamu ngawasi si Errista."

"Hah... memangnya Mama buka Yayasan penyedia babysitter, ya?"

"Husshh. Errista itu, kan, teman kamu. Ada yang laporin, Erri ikut-ikutan geng enggak bener gitu. Nah, Tante Sera kalang kabut."

"Errista?"

**

Pemuda itu tahu, sudah beberapa kali mamanya menoleh ke arahnya. Berniat hendak mengucapkan sesuatu yang tidak pernah terungkap. Mengerutkan dahi dan kembali fokus menatapi Honda Civic hitam di depan mereka. Sekali waktu mata itu menatap kaca spion, kiri dan kanan.

"Sayang," Mama memanggilnya. Menoleh sejenak, lalu menghembuskan nafas panjang. Tangannya mengganti track lagu di Apple shuffle silver-nya. Taio Cruz menyenandungkan She's like a star. Pemuda itu menatap lurus ke jejeran mobil yang turut berpesta macet beratapkan malam yang perlahan jatuh.

"Sayang," panggilan itu bernada keras. Satu earphone ditarik hingga terjuntai di bahunya. Matanya berkedip cepat. Tangannya bersedekap. Stereo di dashboard mobil menyenandungkan petikan akustiknya Sabrina dengan Lucky milik Bruno Mars. "Maaf."

"Udah ngomong aja. Dari tadi mobil ini sudah kayak kotak penyiksaan."

"Erri Sayang, Mama khawatir sama kamu."

"Trus, solusinya, mesti ke psikolog gitu. Aku, kan, enggak gila, Ma," teriaknya. Sejak tadi dirinya sudah menunggu waktu yang tepat untuk protes. Tante Kikan adalah satu-satunya teman Mama yang berprofesi sebagai dokter kejiwaan di Rumah sakit almarhum Papa. Sekarang Mama membawanya ke sana. Ada sembilu yang menyayat-nyayat hatinya.

"Bukan begitu, Sayang...."

"Terserah Mama sajalah. Mungkin aku memang sudah benar-benar gila," ujarnya. Memasang kembali headset dan menambah volume iPod di tangannya.

**

 "Ai sekolah ya, Ma."

"Have fun, Sayang," gadis itu mengangguk dan turun dari mobil yang dibukakan oleh Pak Yadi, satpam sekolah.

"Pagi, Mbak Aisha," sapa Pak Yadi yang dijawab anggukan oleh gadis itu, "Pagi Bu Kikan, langsung ke kantor?" sapa pria itu lagi sebelum menutup pintu belakang CRV hitam itu.

"Iya, Pak." Jawaban itu menuai senyum hormat seiring kaca mobil yang perlahan naik.

 

Tak....

Tak....

Tak....

Sepatu Aisha bergema di sepanjang koridor sekolah. Dirinya harus segera menemui Tio. Cowok itu pasti mengenal Erri. Mana mungkin kepala geng tersohor seantaro Al Azhar itu tidak mengenal Erri.

"Kita sedang dikejar siapa, sih?" Dengan cepat kepalanya menoleh. Blues menyeringai dengan nafas ngos-ngosan. Keringat terlihat menghiasi bagian bawah hidung cowok itu. Sejak berkenalan dengen Blues sebulan lalu, Ai memang sering merasa ada yang salah dari tingkah cowok itu terhadapnya. Derap sepatu cowok itu sama sekali tidak terdengar kala dirinya berlari.

"Gue mau ketemu Tio. Nah, loe mau ketemu siapa? Trus sejak kapan ngekorin gue?"

"Pede amat, Non. Dari tadi kan gue di belakang loe kali. Enggak kangen, ya? Padahal gue udah kangen tingkat dewa, lho," ujar Blues seraya menyeringai, jenaka. Tangan Aisha terangkat, memukul lengan cowok itu gemas. Mendadak dirinya teringat pertemuan mereka kemaren sore.

"By the way, kemaren loe ke Rasuna Said, ya?'

"Hah."

"Iya, ke tower empat, Aston Residence. Sore-sore jam 6-an. Kita ketemu di depan lift."

"G...gue...."

"Ai!!"

Blues melengos cepat. Membekap mulutnya seketika. Tio mendekati mereka. "Sori baru baca bbm loe. Mau nanyain apa?" tanya Tio, akrab. Mata cowok itu ramah ke arah Aisha. Lalu matanya menoleh ke arah Blues yang masih mengusap-usap bibirnya. "Man, entar pulang sekolah, ya," ujarnya. Blues mengangguk lalu berjalan menjauhi mereka. Aisha menautkan alis. Aneh. Bagaimana mungkin seorang Blues yang super kalem dan selalu jaim itu mengenal Tio? Ada yang salah.

"Enggak jadi deh. Masuk yuk, keburu bel," ujar Aisha. Tio menyeringai. Menyikut lengan Aisha yang tertutup lengan seragam sekolah yang panjang.

**

Blues Errista.

Mata Aisha masih terpaku ke buku absen di hadapannya kala seseorang menggamit bahunya. "Blues," bisiknya. Merasa bersalah karena tatapan mata cowok itu tengah menelusuri apa yang sedang dilihatnya.

"Kamu anaknya Tante Kikan, ya?" tanya Blues. Aisha mengangguk.

"

Ternyata kamu si Errista yang Mama dan Tante Sera perbincangkan itu," ujarnya. Mata cowok itu perlahan redup. Merasa malu karena ada seseoang seperti Aisha, teman yang sejak awal membius perhatiannya, yang mengetahui situasi itu. Mamanya tega membawanya memeriksa kejiwaan. Tanpa sebab yang jelas.

"Mama mengira aku gila," ujarnya dengan senyum terpaksa yang menyiratkan luka. Aisha mengernyit. Mencerna kata-kata yang keluar dari bibir Blues seiring roman wajahnya yang sedih.

"Maksud kamu?" tanya Aisha penasaran. She's Like a Star mengusik kesunyian mendadak itu. Blues meraih ponsel di saku seragamnya, "Iya. Iyaa...aku beneran di sekolah. Masa enggak percaya, sih?" dengan kesal, Blues mematikan hapenya dan melangkah keluar. Aisha mengernyit sejenak, lalu tersenyum. Mencoba mengulangi nada-nada ringtone milik Blues yang melankolis, untuk panggilan dari Mama.

Sekejap ide itu muncul dalam benaknya. Diraihnya Blackberry Gemini kesayangannya dan mencari nomor yang kemarin malam menelponnya guna meminta bantuan.

"Tante Sera, ini Aisha. Iya. Blues ada di sekolah, kok. Jangan terlalu curigaan, Tan. Dia tertekan sekali, karena Tante enggak percaya sama Blues. Makanya dia jadi uring-uringan begitu," ujarnya seraya memainkan bandul baby ballerina di lehernya.

"Iya, Tante. Di TIM. Iya, Cikini. Mau datang? Ajak Blues, ya? Dua ratus lima puluh aja, kok, harga tiketnya," ujar Aisha bersemangat. Gadis itu tersenyum mendengar suara di ujung sana. Tak menyadari Blues yang berdiri di ambang pintu dengan raut wajah gemas ingin menarik Aisha ke kantin dan menghujaninya pertanyaan.

**

"Lagian, kamu itu anak baru, udah deket aja sama si Tio. Dia, kan, keturunan algojo. Preman terminal Blok M," ujar Aisha.

"Stop menjelek-jelekkan orang lain, deh. Mentang-mentang sering mangkal di Blok M, jadi preman begitu? Dia kerja di sana, membantu abangnya menjaga toko buku bekas. Aku dekat sama Tio, karena sering ketemu dia di sana, waktu belum pindah ke sini," kata Blues.

"Oohh...."

"Makanya, jangan suka menuduh orang sembarang. Cari dulu detailnya, baru komentar."

"Terus, yang laporin kamu ke Tante Sera, gimana tuh?"

"Ya, sama kayak kamu tadi, baru lihat sekali udah menyimpulkan. Si Nayla yang cerita ke mamanya, kebetulan mama si Nay teman sekantor mama."

"Ya ampun, Blues."

"Enggak penting, deh. Aku juga semula curiga, Mama mengajak ke psikolog buat cek kejiwaan, ternyata enggak, toh," ujar Blues seraya melukis seringai yang membuat Aisha terkekeh bahagia.

"Kalau aku ke tempatmu, apa ya, yang akan kamu curigai?"

"Leukimia stadium akhir."

"Huuush."

"Iya, dong. Kalau enggak, buat apa Tante Sera ketemu Mama di rumah, kalau bukan ngebahas asuransi kematian."

 

Plaaak....

Buku itu mendarat sempurna di bahu Blues. Lalu seringai yang ditambah bisikan bernada bercanda itu membungkam Aisha. Diam seribu bahasa, "Kuharap, Tante Sera dan Mama akan membahas kilas balik sejarah Siti Nurbaya. Buat kamu. Untuk kita."

 

(Oleh: Glora Lingga, foto: weheartit.com)

View this post on my blog

0 comments:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog