PKS Harus Berani Keluar Koalisi

JAKARTA, KOMPAS.com - Untuk kesekian kalinya sikap Partai Keadilan Sejahtera berseberangan dengan partai-partai lain di dalam koalisi. Sikap partai tersebut secara jelas ditunjukkan pada saat pelaksanaan rapat Sekretariat Gabungan di rumah dinas Wakil Presiden Boediono, Selasa (4/5/2013) malam kemarin. Partai yang dipimpin oleh Anis Matta itu justru tidak menghadiri rapat membahas rencana kenaikan harga BBM bersubsidi.

Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA), Said Salahuddin mengapresiasi langkah PKS yang menyatakan tidak setuju terhadap rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Menurutnya, seluruh fraksi di Parlemen wajib memperjuangkan aspirasi masyarakat yang menentang rencana kenaikan harga BBM.

"Rakyat hanya ingin partai dan orang-orang yang telah mereka pilih pada Pemilu 2009 lalu sungguh-sungguh mendengar dan menunjukan komitmennya untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Kalau rakyat berkehendak menolak kenaikan harga BBM, ya mestinya parpol di DPR berpihak pada aspirasi rakyat itu. Justru aneh kalau parpol lain di Senayan tidak mengambil sikap seperti PKS," kata Said melalui pesan singkat yang diterima Kompas.com, Rabu (5/6/2013).

Terkait hal ini, Said mengatakan, PKS harus siap untuk didepak dari koalisi partai yang tergabung di dalam Sekretariat Gabungan. Para menteri asal PKS juga harus siap diganti oleh SBY. Tercatat setidaknya ada tiga menteri asal PKS yang tergabung di dalam KIB Jilid II, yaitu Menteri Pertanian Suswono, Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring, dan Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri.

"Kalau mereka serius pada sikapnya, ya harus berani begitu. (PKS) harus menyatakan berani menerima risiko dikeluarkan dari koalisi pendukung pemerintah, termasuk apabila kadernya yang duduk di kabinet diganti. Kalau hanya berani menolak saja, tapi tidak siap ditendang dari Setgab, ya omdo (omong doang) aja itu," tegasnya.

Meski demikian, menurut Said, Setgab sebenarnya tidak perlu mendepak PKS dari koalisi. Jika hal itu terjadi, hal ini menunjkkan Setgab tidak menghargai adanya demokrasi. "Justru kalau ada paprpol yang kritis dan punya sikap yang berbeda, pemimpin dan anggota koalisi perlu membuka ruang dialog untuk mencapai kompromi. Bukan asal main tendang. Hanya negara yang dipimpin rezim otoriter yang asal main tendang begitu," terangnya.

Seperti diberitakan, pemerintah berencana menaikkan harga premium menjadi Rp 6.500 per liter dan solar Rp 5.500 per liter. Jika direalisasikan, sebanyak 15,53 juta keluarga miskin akan menerima uang tunai Rp 150.000 per bulan selama lima bulan dan kompensasi dalam bentuk program lainnya.

Editor : Hindra

View this post on my blog

0 comments:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog